(Ditulis oleh: Hermawan Kartajaya) — Di masa depan, semua orang akan menjadi terkenal dalam 15
menit. Demikian yang diprediksikan oleh Andy Warhol pada tahun 1968
lewat ungkapannya 15 menit yang terkenal : Brand Tidak Ada Gunanya Tanpa
Karakter !
Di era New Wave seperti sekarang,
tentunya prediksi artis legendaris tersebut sudah kurang lebih menjadi
kenyataan. Di jaman yang serba canggih dan saling terhubung seperti sekarang,
setiap orang bisa mencapai ketenaran (asal mau) dengan serba instan. Dengan
adanya YouTube, Facebook, Flickr, dan lain sebagainya, sangat mudah bagi orang
untuk menjadi terkenal.
Dan sudah banyak contohnya. Bisa Anda
lihat sendiri di sebuah masukan dari Wikipedia mengenai daftar fenomena
internet, mulai dari Honglaowai (orang Amerika yang suka menyanyikan lagu
komunis dengan bahasa Cina) sampai Judson Laipply (dengan Evolution of
Dance-nya).
Seiring dengan perkembangan jaman,
selama empat dekade ungkapan 15 menit dari Andy Warhol memang terus direvisi
oleh banyak orang. Momus, seorang artis dari Skotlandia, pernah mengatakan di
tahun 1991 bahwa di masa depan, semua orang bisa terkenal setidaknya di hadapan
15 orang. Ungkapan ini kini dikembangkan lagi oleh banyak orang, terutama para
aktivis di dunia Web 2.0, yang mengatakan dengan internet, setidaknya jika Anda
tidak berhasil untuk mencapai ketenaran selama 15 menit, Anda dapat terkenal di
hadapan 15 orang.
Dalam konteks pop marketing, kami
tertarik dengan apa yang dikatakan oleh majalah Rolling Stone di dalam editors
note-nya barusan ini, bahwa dunia digital saat ini semakin membunuh merek band
(brand) yang superstar. Sebagaimana yang dikatakan di sana Nama besar tidak
penting. Lagu adalah kunci utama.
Menurut kami sendiri, perubahan dari
analog ke digital di industri musik, tentunya telah merubah banyak hal baik di
sisi supply dan di sisi demand. Proses produksi musik jadi lebih mudah, dan
untuk mengkonsumsi produk musik pun juga tentunya menjadi lebih gampang. Dan
semua itu terjadi karena semakin banyaknya konektor di dunia offline dan
online, yang sifatnya eksperiensial, mobile, dan sosial, yang ada di mana-mana,
here, there, and everywhere.
Di era New Wave seperti sekarang,
ketenaran bisa didapati secara instan. Evan Brimob contohnya bisa mendadak
terkenal dalam hitungan menit. Dan bisa mendadak terkenal di hadapan masyarakat
umum sampai presiden.
Dunia New Wave sarat dengan orang amatir
yang tampil. Dengan adanya konektor, orang-orang yang amatir pun bisa membuat
sesuatu, memasarkan sesuatu, dan menjadi tenar. Ketenaran bisa cepat didapati,
bisa cepat pula meredup. Orang bisa terkenal dalam sehari di internet, dan
nyaris tak terdengar lagi di hari kedua. Makanya untuk menjadi tenar secara
sustainable, harus ada karakter yang konsisten dan memiliki nilai otentisitas.
Di era New Wave, yang menjadi penting
bukan lagi brand-building, tapi character-building. Tugas pemasar adalah
membangun dan menjaga karakter sesungguhnya dari brand. Dalam hal ini, yang
menjadi penting adalah bagaimana membangun sebuah karakter yang baik dan
manusiawi agar dapat diterima lebih mudah di tengah komunitasnya.
Kami tertarik dengan apa yang dikatakan
Josephson Institute yang mengatakan bahwa pada dasarnya ada enam dasar karakter
yang baik dari seorang manusia; truthfulness, respect, responsibility,
fairness, care, dan citizenship. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa pemasaran,
artinya pembangunan karakter yang dilakukan oleh pemasar di era New Wave harus
berlandaskan nilai-nilai yang terkait dengan kejujuran, saling menghormati,
tanggung-jawab, prinsip keadilan, peduli satu sama lain, dan jiwa merakyat yang
horisontal. Tanpa karakter seperti ini, brand di era New Wave akan kosong
melompong. A brand, without character, is nothing.
Sumber: http://otomotif.kompas.com/read/2009/11/10/08440591/direktori.html